Aku bingung, aku yang terlalu liar atau aku yang tidak memahami. Aku tenggelam dalam lingkungan yang 180 derajat berbeda dengan duniaku yang lalu-lalu. Semesta punya jalan sendiri dalam membuat makhluknya terperangah. Aku tidak terlau percaya dengan agama. Ditinjau dari ceramah-ceramah yang aku dengar dan perilaku para penganutnya membuatku muak. Agama yag dipaksakan di tanam dalam benakku sedari kecil ialah horornya neraka dengan segala penyiksaan yang akan aku derita ketika aku melakukan dosa. Indahnya surga yang di isi dengan sungai-sungai susu, burung-burung berkicau merdu, hamparan padang rumput yang memanjakan mata yang dapat aku peroleh dari mengoleksi pahala. Itu-itu saja yang di doktrinkan dalam pikiranku sedari kecil. Membayangkannyapun sampai sekarang membuat buluku bergidik bagaimana seramnya neraka. Beranjak besar aku melihat realita-relita aneh bin ajaib. Bagaimana mungkin seorang manusia yang mengaku beragama tetapi suka mengkafirkan orang lain. Menganggap ha
Iklim politik di Indonesia saat ini mengganggu kenyamananku. Ter - iris hati ini melihat sesama saudara saling cekcok, tidak tegur sapa, memutus silaturahmi, fanatisme/taklid buta, pada makam pun intolerans . Lebih parah dari itu, merasa diri seolah seperti “Tuhan , d engan mudahnya menjustifikasi orang lain yang tidak se-agama sebagai seorang “ K afir” . S atu agama berbeda pilihan politik dianggap “antek aseng” dan atau “jaminan neraka” , seakan–akan ialah si penyambung lidah Tuhan. Begitu mudahnya kata–kata tak pantas itu diobral. Padahal, s eperti yang dikatakan cak nun , bahwa " hak untuk menilai seseorang muslim atau bukan adalah hak prerogeratif Tuhan” . Perilaku tersebut dapat terjadi karena kesalahan dalam menyikapi infomasi. Banyaknya informasi yang diterima , namun tidak diimbangi dengan kesiapan pola piker. Se rta k urangnya keinginan untuk menelusuri sumber informasi tersebut, apakah valid atau hanya sebuah prasangka ( HOAKS ) I slam memberi seruan kep