Aku bingung, aku yang terlalu liar atau aku yang tidak
memahami. Aku tenggelam dalam lingkungan yang 180 derajat berbeda dengan duniaku yang lalu-lalu.
Semesta punya jalan sendiri dalam membuat makhluknya terperangah. Aku tidak terlau percaya dengan agama.
Ditinjau dari ceramah-ceramah yang aku dengar dan perilaku para penganutnya
membuatku muak. Agama yag dipaksakan di tanam dalam benakku sedari kecil ialah
horornya neraka dengan segala penyiksaan yang akan aku derita ketika aku melakukan
dosa. Indahnya surga yang di isi dengan sungai-sungai susu, burung-burung
berkicau merdu, hamparan padang rumput yang memanjakan mata yang dapat aku
peroleh dari mengoleksi pahala. Itu-itu saja yang di doktrinkan dalam pikiranku
sedari kecil. Membayangkannyapun sampai sekarang membuat buluku bergidik bagaimana
seramnya neraka. Beranjak besar aku
melihat realita-relita aneh bin ajaib. Bagaimana mungkin seorang manusia yang mengaku
beragama tetapi suka mengkafirkan orang lain. Menganggap hanya agamanya yang
paling benar. Menghilangkan landasan dasar
dalam menganut agama yang pernah saya anut. Yaitu, islam adalah
“rahmatan lil alamin”. Yang berarti rahmat untuk seluruh alam semesta. Hematku
mengartikan itu ialah “engkau islam jika kau dapat membuat orang lain senang
berada di dekatmu”. Selain itu, prilaku yang tidak kalah aneh ialah para
pejabat dalam pemerintahan yang sudah di sumpah di atas Al-Qur’an kitab yang
suci dalam agama islam tetapi masih menyelewengkan uang untuk kebutuhan orang
banyak hanya untuk kepentingan pribadi. Jika di kaji dengan analogi saya dalam
memaknai rahmatan lil alamin. Menjadi berbanding terbalik. Tidak membuat orang
lain senang saja sudah tidak islam.bagaimana ini? merugikan khalayak ramai?
Gila aku di buatnya.
Aku
sekarang bertemu dengan sekumpulan insan
yang beragama tapi memlih jalan pasif. Ketika tertipu berpasrahkan diri. Harga
diri di injak-injak berpasrah diri. Hidup tanpa ambisi dunia. Apa serunya?
Hidup hanya untuk mengejar surga akhirat yang menurutku sangat jauh dan belum
tentu masuk terkualifikasi sebagai penghuni surga? Bukankah lebih baik
menghadirkan surga di dunia ini? tempat di mana kau tidak perlu merasa susah,
tempat di mana kehadiran kita sangat berarti, tempat berkeluh-kesah, tempat di
mana semua kepercayaan hidup berdampingan dan selaras, tempat tidak adanya
diskriminasi, dan banyak hal lagi. Entahlah, mungkin akan selalu menjadi
utopiaku di malam hari menunggu fajar tiba. Mungkin aku yang terlau sotoy dalam
menafsirkan agama, atau aku yang tidak memahami rahasia beragama. Tolong ajari
aku bagaimana seorang penganut agama meyikapi dunia ini. balas tulisan ini. aku
tunggu dalam kegamangan beragama. Aku
butuh cahaya dalam lorong gelap beragama.
Gatau ah
BalasHapus